Kamis, 01 November 2012

Kecerdasan untuk mengatasi kesulitan

Mungkin kita pada awal tahun 2000an booming dengan  istilah IQ, SQ, EQ yang  dikeluarkan oleh hasil gagasan ARI GINANJAR. Seiring dengan itu, gagasan tentang Kecerdasan Manusia telah muncul dengan berbagai sudut pandang masing-masing tentunya.

salah satunya yakni Kecerdasan untuk mengatasi kesulitan.  Menurut Stoltz,  kecerdasan untuk mengatasi kesulitan disebut juga adversity quotient  (AQ). “AQ merupakan faktor  yang dapat menentukan bagaimana, jadi atau  tidaknya,  serta  sejauh  mana sikap, kemampuan dan kinerja Anda terwujud di dunia,” tulis Stoltz. Pendek kata, orang yang memiliki AQ tinggi akan lebih mampu mewujudkan  cita-citanya dibandingkan orang yang AQ-nya lebih rendah.

Ketika akhirnya Thomas Alva Edison (1847 - 1931)  berhasil menemukan baterai yang ringan dan tahan lama, dia telah melewati 50.000 percobaan dan bekerja selama 20 tahun. Tak heran kalau ada yang  bertanya, “Mr. Edison, Anda telah gagal 50.000 kali, lalu apa  yang membuat Anda yakin bahwa akhirnya Anda akan berhasil?” Secara spontan Edison langsung menjawab, “Berhasil? Bukan hanya berhasil, saya telah mendapatkan banyak hasil. Kini saya tahu 50.000 hal yang tidak berfungsi!”

Untuk  memberikan gambaran, Stoltz meminjam  terminologi  para pendaki gunung. Dalam hal ini, Stoltz membagi para pendaki gunung menjadi tiga bagian:
1. quitter (yang menyerah). Para   quitter   adalah para pekerja yang  sekadar untuk bertahan hidup). Mereka ini gampang putus asa dan menyerah di tengah jalan

2. camper  (berkemah di tengah  perjalanan) Para   camper  lebih baik, karena  biasanya  mereka  berani melakukan pekerjaan yang berisiko, tetapi tetap mengambil  risiko yang  terukur dan aman. “Ngapain capek-capek” atau “segini juga udah cukup” adalah moto para campers. Orang-orang ini sekurang-kurangnya sudah merasakan tantangan, dan selangkah lebih maju dari para quitters. Sayangnya banyak potensi diri yang tidak teraktualisasikan, dan yang jelas pendakian itu sebenarnya belum selesai.

3. climber (pendaki yang mencapai  puncak). Para climber, yakni  mereka,  yang dengan segala keberaniannya menghadapi risiko, akan  menuntaskan pekerjaannya. Mereka mampu menikmati proses menuju keberhasilan, walau mereka tahu bahwa akan banyak rintangan dan kesulitan yang menghadang. Namun, di balik kesulitan itu ia akan mendapatkan banyak kemudahan.”Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”

Dalam konteks ini, para climber dianggap memiliki AQ tinggi. Dengan kata lain, AQ membedakan antara para climber, camper, dan  quitter .

Jawaban luar biasa dari pencipta lampu pijar itu menjadi salah satu  contoh  ekstrem seorang climber (pendaki)–yang dianggap memiliki kecerdasan mengatasi kesulitan (adversity quotient, AQ) tinggi. Terminologi AQ memang tidak sepopuler kecerdasan  emosi (emotional  quotient) milik Daniel Goleman, kecerdasan  finansial  (financial  quotient) milik Robert T. Kiyosaki, atau kecerdasan eksekusi (execution quotient) karya Stephen R. Covey.

AQ ternyata bukan sekadar anugerah yang bersifat  given. AQ ternyata bisa dipelajari. Dengan latihan-latihan  tertentu, setiap orang  bisa diberi pelatihan untuk meningkatkan level AQ-nya.

Manusia sejati adalah manusia yang jika menempuh perjalanan yang sulit, mereka selalu optimis; sedangkan jika mereka melewati perjalanan yang mudah mereka malah khawatir

Dalam kehidupan nyata, hanya para climbers-lah yang akan mendapatkan kesuksesan dan kebahagiaan sejati. Sebuah penelitian yang dilakukan Charles Handy-seorang pengamat ekonomi kenamaan asal Inggris terhadap ratusan orang sukses di Inggris memperlihatkan bahwa mereka memiliki tiga karakter yang sama. Yaitu, pertama, mereka berdedikasi tinggi terhadap apa yang tengah dijalankannya. Dedikasi itu bisa berupa komitmen, kecintaan atau ambisi untuk melaksanakan pekerjaan dengan baik. Kedua, mereka memiliki determinasi. Kemauan untuk mencapai tujuan, bekerja keras, berkeyakinan, pantang menyerah dan kemauan untuk mencapai tujuan yang diinginkannya. Dan ketiga, selalu berbeda dengan orang lain. Orang sukses memakai jalan, cara atau sistem bekerja yang berbeda dengan orang lain pada umumnya. Dua dari tiga karakter orang sukses yang diungkapkan Handy dalam The New Alchemist tersebut erat kaitannya dengan kemampuan seseorang dalam menghadapi tantangan. (http://iisrasjeed.blogsome.com/2007/04/21/adversity-quotient/)

Dalam dunia kerja Mengapa para karyawan yang ber-IPK tinggi kalah bersaing dibandingkan para karyawan lain yang ber-IPK rendah tetapi lebih berani dalam bertindak?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar